Tahun 2017.
Puntung rokok hampir habis.
Bajuku sudah tercium wewangian tembakau bakar yang menempel lengket, tak mau lepas sampai besok. Huft.
Malam bersama teman-temanku.
Duduk di warung kopi.
Hampir subuh memang, tapi tak satupun ingin beranjak pulang.
Akhir-akhir ini Bandung semakin dingin.
Tapi tak apa, kami masih mencintainya.
Dialog terakhir kami mengenai masa depan.
Pembicaraan biasa, namun mampu berujung dengan diam satu sama lain.
Pikiran kami berlarian keluar dari warung kopi ini.
Dua dari kami sudah lulus sidang.
Dua lainnya termasuk aku, belum.
Di dalam dilema masing-masing, kami berempat menyibukkan diri dengan menatap layar telepon pintar.
Entah apa yang kami scroll, tapi pikiran kami tetap di luar warung kopi, mencapai rumah asal masing-masing.
Sampai di rumah, pikiran-pikiran kami mengetuk pintu kamar orang tua kami…
Tidak dibuka…
Yaiyalah, sudah hampir subuh, mereka pasti sedang tidur…
Pikiran kami menembus pintu kamar mereka,
melihat wajah tenang yang tertidur pulas dihiasi guratan tipis kerutan dahi.
Apa yang sedang mereka impikan?
Pikiran kami termenung lama disana. Ingin beranjak kembali, tapi terlalu terpaku dengan wajah mereka.
Dilema kami semakin memuncak.
“Bagaimana membahagiakan wajah-wajah ini?”
Akhirnya, lama-kelamaan pikiran kami capai.
Berpengaruh pada fisik kami di warung kopi, yang tanpa nyawa masih scrolling isi instagram masing-masing.
” Teh, ini indomienya”
Aku melihat bagian atas layar hp-ku, pkl 03.00.
Sudah hampir satu setengah jam kami mampir ke rumah masing-masing.
Perjalanan jauh yang anehnya tanpa rasa kantuk.
” Mungkin sampai disini.” Retta memecah keheningan.
” Jalani aja yang terjadi sekarang.”
Boll setuju. Wenwen juga setuju.
Aku kurang setuju…
Aku selalu berkomitmen dengan perencanaan
(mungkin ini yg menyebabkan aku kurang bahagia wkwkwk)
Tapi malam ini biarlah.
Sisi jiwaku itu kubiarkan kalah.
Aku memilih menikmati subuh ini, minum torabika cappucino sambil melihat temanku makan mie goreng di mangkok bergambar ayam.
Kembali bercerita masa-masa jadul memalukan di semester 1 sebagai mahasiswi.
Membahas awal pertemuan, kebodohan, pertengkaran, bertanya kapan cinta kami datang, dan keunikan masing-masing.
Klasik memang, tapi bisakah masa ini Kau bekukan ya Tuhan?
Bisakah aku bersama manusia-manusia ini setiap hari seperti sekarang?
Bisakah biarkan mereka tak dituntut masa depan,
sehingga dengan egoisnya aku ingin mereka selalu memperhatikanku?
Ah… Iya Tuhan, aku mengerti kok…
Subuh ini harus kunikmati.