Skip to content

Puisi Tanpa Rima

Air mataku turun
Tapi pandanganku tetap lurus, entah menatap apa.

Kata orang, meloncat adalah cara terbaik untuk mati.
Apakah benar? Aku penasaran.

Atau apakah tertikam adalah cara terbaik?
Aku penasaran.

Aku penasaran dengan semua orang.
Penasaran dengan yang mereka lakukan ketika perasaan ini datang.
Padahal perasaan ini sudah datang sejak aku kecil…

Tapi bingung, kenapa perasaan ini muncul dan tenggelam tak tau waktu?

Kalau aku mati, bukankah aku meringankan beban ayah ibuku?

Bukankah seseorang mati dan dilupakan?

Aku terbayang Bunda Teresa sekarang,
mati tapi wajah dan karakternya tetap menggaung dari generasi ke generasi.

Apa perasaannya saat itu?
Apakah tidak berat?
Apakah tidak ingin mati saja rasanya?

Tapi sepertinya kesadaran dan roh yang penuh mampu mengingatkan bahwa Tuhan ingin semua umat pilihan-Nya “finishing well”

Menyelesaikan tugas di dunia dengan sebaik mungkin.

Seberat apapun… Tuhan satu-satunya yang tidak ingkar janji.
Ia tidak meninggalkan, seberat apapun.

Air mata dalam diam ini akan berlalu.
Sama seperti sebelumnya, ini pasti bisa dilalui.

Aku memilih mati dengan nama, karakter, tugas yang terlaksana baik…

Dalam sunyi, Tuhan membalas…
“Kehendak-Ku lah yang jadi.”

Baiklah. Aku berserah.
Ini bebanku, ambillah.

Terima kasih Tuhan sudah berbicara,
hatiku jauh lebih tenang.

Aku masih punya tugas penting,
kematian hanya jalan pintas yang menambah kekalnya masalah.

Sudahlah, mari kembali berdoa, lalu tidur.
Besok kamu akan jauh lebih baik.


Puisi tahun 2021,
tanpa rima namun dengan rasa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *