Aku diam tapi aku berlari.
Tiga hari aku memutuskan diam, berkedok sakit, namun keuntungan lainnya bisa diam tanpa ada gangguan apapun.
Walau menabrak prinsip moral yang selama ini aku pegang untuk bisa membantu siapapun di setiap harinya.
Tiga hari ini aku memutuskan diam. Menabrak semua itu. Egois.
Aku tidak menangis, tidak sedih, tidak khawatir masa depan, rasanya semua baik-baik saja.
Tapi ternyata tetap saja tidak baik. Aku hambar.
Hambar dalam terang.
Ada perasaan yang sama, kisah dahulu terulang lagi.
Langkah-langkah kaki yang perlahan pergi menjauh.
Ga sama lagi.
Tapi bukannya hidup memang begitu?
Aku pun tak sama lagi. Kenapa harus hambar?
Tubuhku berat.
Aku kembali lari sepertinya.
Berkedok sakit, membiarkan diri memuji diri dengan apresiasi gula.
Lagi-lagi. Larimu kesitu lagi.
Kamu lari.
Kamu lari.
Kamu tidak diam seperti yang dilihat orang-orang.
Kamu berlari. Tak sanggup menerima kenyataan.
Tapi sadar untuk harus terus mengulurkan jabat damai dengan realita.
Sentuhan jabat damai itulah yang membuat semuanya semakin hambar.
Lari dan hambar.
Lucu sekali.
Tapi gimana? Memang harus inikan? Hidup ini berputar seperti inikan?
Aku bukan lagi butuh jabat damai itu.
Aku butuh penerimaan ikhlas dan utuh.
Akan ada saatnya memang banyak kaki melangkah menjauh.
Yang dulu dekat, perlahan ada benteng tipis yang terbangun.
Aku cuma terpikir…
Apakah sampai nanti, akan aku yang selalu sendiri?
Apakah akan aku yang selalu merentangkan tangan terbuka ketika dibutuhkan?
Atau sebenarnya tidak ada masa perentangan tangan itu lagi?
Aku bingung….
Ketika hampir seluruh hidupku penuh dengan aku yang merentangkan tangan.
Siapa yang pada akhirnya nanti akan merentangkan tangan untukku?
Aku berlari. Masih berlari…
Beri aku waktu. Sampai nafasku habis, berhenti, dan mengulurkan tangan untuk jabat damai itu.
*Puisi tanpa rima, September 2021.
Selamat menempuh hidup baru, kawan-kawanku.