di masa depan.
Saat melihat ini, membaca ini kembali, aku harap dirimu sudah menjadi pemenang kehidupan.
Kamu mengakhiri hidupmu sebagai seorang pemenang.
Hidupmu tidak akan berakhir dengan cara-cara bodoh yang terkadang masih muncul di pikiranmu saat ini. Kamu tidak boleh mati dengan cara itu.
Surat ini juga teruntuk kamu, teman-temanku yang membaca ini.
Aku hanya ingin kamu tau, jika Helga di masa depan yang terlihat memenangkan kehidupannya, punya sisi ini, yang gelap, ringkih, dan rapuh.
Dear Helga Theresia,
aku mohon kamu akan tetap mengingat hari dimana dirimu menuliskan ini.
Hari – hari dimana kamu menyalahkan dirimu terlalu dalam, sampai sakit rasanya.
Hari dimana kamu ketiduran karena menangis terlalu keras, dan meyakini hanya Tuhan yang mendengar.
Karena kamu menangis sendirian di rumah yang kosong.
Hari dimana kamu banyak makan makanan manis demi menghibur diri karena kegagalanmu.
Hari dimana kamu mengerahkan semua tenagamu, tapi masih saja ada hal teledor yang kamu lakukan.
Hari dimana kamu memiliki mimpi yang besar tapi di saat bersamaan rasanya kamu tertabrak dengan mimpimu sendiri, sampai lukanya terlalu dalam.
Hari dimana masa depanmu terasa buram, tidak ada lagi harapan rasanya.
Hari dimana kamu merasa bodoh, merasa egois, merasa bodoh lagi.
Hari dimana diri sendiri yang perlu ditolong, malah terlalu memenuhi diri dengan menolong orang lain.
Hari dimana semua serba tidak pasti, dan lebih baik menyudahi semuanya.
Hari dimana tidak bisa berdiri tegap, tapi tanggung jawab membuatku harus tetap berdiri tegap seakan tidak terjadi apa-apa.
Hari dimana hati ini menahan malu, kesal, sesal, dan menyalahkan diri menjadi senjata tajam tak terlihat yang menusuk diriku.
Hari dimana kamu sedih karena menyadari bertahun-tahun sendirian tanpa pernah punya pasangan.
*Haha. Lucu. Sekarang akhirnya kamu sedih juga… padahal selama ini kamu yang paling kuat tentang hal ini.
Ketika sampai hari aku menulis ini, tidak ada kata antar jemput di kamusmu (selain diantar jemput mama/ papa/ adikmu).
Hari dimana kamu bisa naik motor 45 menit – 1 jam atau bahkan berjam-jam,
kehujanan, atau kadang hampir jatuh terdongak dari gojek karena mengantuk dan kecapaian.
Hari dimana pulang malam sendirian naik gojek dengan jarak yang jauh.
Semoga kamu mengingat hari-hari dimana aku menuliskan ini.
Dan aku hanya berharap, di saat kamu membaca ini,
matamu tidak sedang sembab karena menangis terlalu kencang sendirian.
Mungkin sudah ada manusia lain yang bisa menemani mendengarkan tangis dan ceritamu.
Kamu sudah menjadi pemenang hidup, dimana kalau kamu gagal, sudah menjadi hal yang lumrah dan bisa dengan cepat memaafkan dirimu.
Kamu sudah bisa mengatur hidupmu lebih seimbang di segala aspek.
Kamu sudah mendapatkan pasangan yang mau menemanimu dan tidak lagi membiarkanmu hujan-hujanan dan ketiduran di motor sampai nabrak-nabrak helm bapak gojeknya.
Akan ada waktunya menikmati semua jerih lelahmu.
Aku yakin, di saat kamu membaca ini kembali, hidupmu pasti sudah jauh lebih baik.
Setidaknya pemikiranmu sudah semakin dewasa.
Maafkan rasanya aku hanya menuliskan keluhanku saat ini.
Tapi setelah sekian lama, aku rasa aku butuh mengeluh. Sekali ini saja.
Aku ingin tulisan ini menjadi tanda bukti sakit yang tetap memiliki harap.
Karena aku berharap, saat kamu membaca ini kelak,
keadaanmu sudah jauh lebih baik daripada saat aku menulis ini.
Terima kasih Helga sudah bertahan sampai sejauh ini.
Kalau tidak kuat, ingat, sumber kekuatanmu… adalah Tuhan
Dan Dia tidak pernah mau mengecewakanmu.
*walau di saat menulis ini, aku sedang dalam keadaan berusaha berdamai dengan diriku sendiri dan berusaha tidak menyalahkan Tuhan, karena dalam hatiku sedang goyah seakan ada rasa tidak meyakini Tuhan tetap bersamaku di saat aku seperti ini.
Pingback: #quiettime : Matius 18 (5) – HELGA THERESIA