Skip to content

RESIGN

Setelah resign dari Cameo Project, aku mengalami goncangan identitas yang hebat dalam hidupku.

Agak tidak menyangka kalau panggilan sebagai produser Cameo Project sangat melekat dan mampu membuat diriku gamang ketika melepaskannya.

Setelah dua tahun berlalu, hari ini aku ingin bercerita proses perdamaianku dengan diriku sendiri.

Proses menemukan identitas diri yang bukan lagi ditentukan oleh jabatan apa yang aku punya,

tapi berdasarkan nilai yang aku bagikan selama hidup.


CAMEO PROJECT

Aku sangat mencintai Cameo Project, aku senang sekali bisa bergabung ke dalam keluarga ini.

Dibalik semua suka ataupun dukanya, saat berangkat bekerja aku merasa menuju rumahku yang kedua.

Capek, lelah, banyak sekali ceritanya. Tapi aku sangat bersyukur dengan semua pengalaman “gila” yang aku dapat di usia sangat muda.

Aku masuk ke dunia Cameo sejak subscribers mereka berjumlah 100.000 (2016).

Di hari terakhirku, subscribers sudah mencapai angka 900.000-an, hampir satu juta (2020).

Rasa memilikiku sangat kuat karena perjalanan panjang dengan berbagai gejolak naik turun.

Jadi, memutuskan resign dari Cameo adalah hal yang sangat sulit. Benar-benar sulit sampai mual rasanya.


Cerita dimulai dari Desember 2019, aku mulai mengurai mimpi-mimpi di hidupku.

Aku review ulang apa yang aku mau dalam hidup dan mencoba memetakan perjalanan yang harus ditempuh.

Ternyata aku tidak melihat Cameo sebagai rute perjalananku lagi. Aku perlu melanjutkan perjalananku ke tempat lain, aku perlu pertumbuhan baru.

Dengan segala ego, aku sulit melepaskan posisi sebagai produser Cameo Project.

Aku tau tempat ini memiliki value yang sangat ingin aku wujudkan, banyak isu sosial yang bisa aku angkat dan ide-ideku sudah sangat didengarkan.

Bos-bos ku juga sudah sangat percaya aku bisa handle berbagai hal.

Aku punya team, punya anak-anak magang. Semua tugas bisa didelegasikan dengan tanggung jawab tetap di tanganku

Cameo benar-benar aku anggap keluarga sendiri, bahkan sampai saat ini.

Mereka juga sangat tau baik dan buruknya Helga Theresia.

Tapi dengan berbagai pertimbangan, aku membulatkan tekad. Kalau aku tidak keluar dari Cameo, I know, I will not grow.

Aku memutuskan bicara pada atasanku, Mas Randi.

Respon Mas Randi yang akan selalu kuingat :

” Gha, lo kayak lagi jatuhin bom atom ke Cameo Project.”

Aku terdiam dan banyak menangis.

*Baru keinget, kayaknya aku banyak nangis depan Mas Randi deh ehehe.


FREELANCE

Singkat cerita, aku resign.

Keluar dari Cameo dengan tidak punya tempat untuk berpindah pekerjaan.

Memutuskan untuk freelance.

Di awal-awal, aku membantu mama papaku di toko, sampai akhirnya pandemi dan kita harus di rumah.

Dalam proses perjalanan, aku tersadar jika aku menggantungkan identitas pada Cameo Project.

Aku terlalu bangga bisa bekerja disana di saat teman-teman seusiaku masih mencari pekerjaan.

Aku bisa memasuki dunia entertain yang penuh sorot, bertemu orang-orang yang penting, serta ilmu yang sangat luas – tak terbayarkan apapun.

Apalagi ketika aku menjadi seorang produser, aku merasa sangat keren dan “di atas”.

Lucu memang, padahal kalau melihat Helga di masa itu sangat “masih ga ada apa-apanya” , terlihat diam tapi di lubuk hati terdalam ada rasa sombong (akupun baru sadar setelah sekian lama).

Butuh waktu lama untuk berdamai dengan keadaan freelance dan ketakutanku mengenai tanggapan orang.

Aku takut ada yang menganggapku malas, pengangguran, ga tau malu masih numpang hidup sama orang tua, dll.

Aku bahkan takut sharing ilmuku di bidang produksi karena takut dianggap panjat sosial ke Cameo Project.

**Padahal kalau dipikir-pikir… kan yang bikin konten Cameo itu aku & team, kenapa jadi takut? Hahaha.

Berbagai ketakutan yang lucunya adalah untuk memberi makan pandangan orang lain tentangku.


PEKERJA SOSIAL

Aku memang berencana tidak lagi ingin bekerja di sebuah perusahaan, kecuali perusahaan tersebut punya visi misi yang sesuai.

Perusahaan yang lebih mengedepankan visi dan misi dibandingkan profit untuk kepentingan sendiri.

Tapi sepertinya memang sulit melihat perusahaan seperti itu.

Aku juga memilih project mana saja yang benar-benar ingin aku kerjakan. Jika hatiku tidak ingin mengerjakannya, aku tidak akan mengambilnya.

Idealis? Mungkin.

Tapi orientasiku bukan hanya untuk keuntungan pribadiku, tapi nilai yang bisa aku berikan dari pekerjaanku.

Karena prinsip seperti ini, aku sempat mendengar ada yang menyatakan,

” Helga mah pekerja sosial “.

Identitasku langsung terganggu, egoku mengamuk rasanya.

Ada rasa tidak ingin dibilang “pekerja sosial”, aku merasa rendah, dinilai tidak memiliki uang yang cukup, hidup yang miskin.

Pemikiran yang bodoh. Tapi itu benar – benar terjadi saat itu.

Karenanya, aku entah kenapa memanipulasi project-project-ku agar tidak terlalu terlihat sosial.

Salah satu contohnya ketika aku mengerjakan project untuk gereja.

Aku tidak ingin project-ku tertalu “gerejawi”, aku ingin bahasa yang digunakan bisa lebih universal, diterima khalayak banyak.

Hal yang bagus sebenarnya, supaya bisa ditonton orang-orang di luar agama Kristen.

Tapi kalau aku selidiki hatiku lagi, sepertinya karena aku yang tidak mau dilihat sebagai seorang pengangguran yang tidak ada kerjaan, seorang pengangguran makanya bikin project gereja yang tidak menghasilkan uang.

Jahat kan hatiku? Yap betul. Aku punya sisi jahat yang sama dengan kalian semua.

Tapi hari ini dengan semua pertumbuhanku, aku menyadarinya dan tidak ingin mengulang sikap hati seperti itu.


PENAWARAN

Selama dua tahun ini, banyak tempat yang berdatangan menawarkan posisi yang menarik. Dari menjadi produser di industri game, video, podcast, bisnis makanan, dan banyak tempat lainnya.

Setiap tawaran datang, identitasku mulai tergoncang.

Salah satu kejadian yang sangat menggoncang ego dan identitasku adalah saat aku ditawari untuk menjadi Executive Producer N*r*si Tv.

Aku galau bukan main. Seminggu penuh rasanya mual, pusing, kecemasanku naik berkali-kali lipat.

Media yang menarik karena masih beririsan visi denganku.

Di satu sisi aku terbayang betapa kerennya bio instagramku jika mencantumkan Executive Producer N*r*si Tv.

Tapi di sisi lain, aku tau program tayangan yang ditawarkan padaku, tidak sesuai dengan minatku.

Jika aku menerima tawaran tersebut, aku tau dengan pasti, itu hanyalah untuk sebuah jabatan dan uang yang tetap.

Bukan untuk melayani perusahaan dan memberikan yang terbaik, karena aku setengah hati mengerjakannya.

Setelah rasa mual anxiety -ku, aku menenangkan diri, dan berdoa…

Akhirnya dengan yakin mengirimkan email balasan jika tidak bisa menerima tawaran tersebut.


MUNDUR UNTUK MAJU LEBIH CEPAT.

Resign dari Cameo adalah keputusan terbaik dan aku tidak mau menyesalinya lagi.

Dulu aku beberapa kali menyesalinya karena penghasilanku jauh menurun. Tidak ada lagi gaji tetap dan bonus tambahan.

Hidup yang benar-benar tidak pasti.

Berkali-kali merasakan blur – jelas – blur lagi – jelas lagi.

Tapi aku berusaha bertanggung jawab dengan pilihanku.

Aku mengalami masa-masa dimana harus sangat berhemat, ketakutan tidak punya uang, dan rasa malu karena kadang harus minta ke orang tua di saat umurku harusnya banyak memberi ke orang tua.

Melihat teman-temanku yang pekerjaannya berkembang pesat, gaji yang jauh lebih tinggi, banyak yang sudah menikah, bahkan punya anak.

Sedangkan aku rasanya diam di tempat. Malah terlihat mundur.

Sangat tidak nyaman, tidak enak.

Belum lagi jika ada project-project yang gagal di tengah perjalanan.

Rasa menyalahkan diri sendiri berteriak keras di kepalaku. Berkali-kali suara seperti ini muncul :

” Apa lagi sih Gha yang lo lakuin? Ga ada yang becus! Ga disiplin, bikin ini itu gagal, mau dibawa kemana hidup lo nanti?! Ga jelas tau gak!”

Aku sangat sering menangis, sesak, berkali – kali suicidal thoughts-ku muncul karena menyalahkan diri ataupun trigger lainnya…

Tapi aku tau, hal-hal tak nyaman ini yang membuatku bertumbuh pesat, mengubah banyak perspektif dan penghargaan di hidupku.


Dari segi fisik, aku mengubah diriku dari 70 kg menjadi Helga yang sekarang malah ingin lari marathon ( lari 42 Km ).

Pikiranku sekarang jauh lebih terbuka, aku sangat menghormati orang-orang dengan berbagai macam profesi, aku semakin tau kalau semua pekerjaan berharga.

Tidak ada yang lebih tinggi satu dengan yang lain, semua pekerjaan punya nilai dan penting. Apalagi jika dikerjakan dengan sepenuh hati.

Benar, kerja sebagai freelance punya jam kerja yang fleksibel. Tapi bukan artinya aku bermalas-malas.

Aku perlu mendorong diriku punya disiplin luar biasa. Mendorong diriku bekerja walau tidak ada atasan yang memantauku, menyuruhku.

Aku perlu menguasai diriku sendiri. Belajar memimpin diri sendiri dulu, baru memimpin orang lain.

Bos utamaku benar-benar Tuhan. Aku mengubah hatiku dalam bekerja :

Oke, ini gue lakuin karena memang Tuhan mau gue kerja sungguh-sungguh dan kasih yang terbaik”.

Sehingga banyak inisiatif yang lahir.

Aku sendiri salut Helga Theresia bisa punya kebiasaan bangun jam 3 pagi, melakukan renungan, olahraga, dan berbagai hal lainnya.

Tidak ada lagi kata “I hate Monday” di hidupku, susah bangun pagi sudah jauh berkurang.

Aku bangun pagi karena tau akan mengerjakan yang seharusnya aku kerjakan dan tanpa paksaan.

Banyak karya ajaib juga lahir dari proses ini. Hal terakhir yang paling ajaib kulakukan adalah membuat teater musikal Tuli.

Oh ya, belajar menjadi juru bahasa isyarat juga keajaiban!

Perlahan tapi pasti… aku melepas jubah identitas yang berdasarkan jabatan, popularitas, atau pandangan orang lain.

Aku mendisiplinkan diriku sendiri untuk berani mencoba hal-hal yang ingin aku coba dalam hidup.

Aku mundur untuk melangkah maju, jauh lebih cepat.


MAHAKARYA

Dalam perjalanan ini, aku pernah menggambarkan diriku seperti berjalan sendirian di padang gurun atau seperti di ruang tunggu rumah sakit dan namaku tidak kunjung dipanggil.

Tapi sekarang aku lebih suka menggambarkan diriku seperti benih yang tertanam.

Dua tahun ini, aku tertanam dan akarku tumbuh kuat dan dalam.

Di luar seperti tidak banyak perubahan yang signifikan, tingginya bertambah sedikit demi sedikit,

tapi kalau melihat kedalaman akarnya, akarnya menjalar sangat kuat.

Semua pohon yang besar punya akar yang menjalar sangat dalam dan kuat kan?

Kalau nantinya tertiup angin atau badai, tetap kokoh bertahan.

Aku menggambarkan diriku seperti itu sekarang.

Proses dua tahun setelah resign ini, membuat aku terlepas dari identitas yang berdasarkan jabatan, popularitas, ataupun penilaian orang lain terhadapku.

Karakterku benar-benar dirombak habis, dipulihkan kembali.

Menjadi produser, sutradara, penulis, juru bahasa isyarat, atau apapun yang aku kerjakan, bukan lagi menjadi identitas diriku.

Aku hanya berpatok pada identitas diri yang sudah Tuhan berikan padaku.

Seperti tulisan di halaman awal website ini, “WE ARE GOD’S MASTERPIECE”

For we are God’s masterpiece.

He has created us anew in Christ Jesus, so we can do the good things he planned for us long ago.

Efesus 2 : 10 (NLT)

Aku makin menanam keyakinan kalau aku adalah masterpiece, mahakarya-Nya Tuhan.

Aku tidak perlu haus jabatan, popularitas, uang, apresiasi untuk menunjukkan keberhargaan diriku.

Aku memang sudah berharga sedari dulu, saat aku diciptakan, dan tidak ada yang bisa mengubah hal itu.

Dan aku yakin, siapapun yang membaca ini, Tuhan juga melihatmu berharga.

Sekian cerita resign-ku kali ini.

Mungkin jika aku teringat berbagai pelajaran lainnya, aku akan menuliskannya lagi.

Selamat menunggu karya-karya masterpiece-ku lainnya!

Tuhan memberkatimu! I love you!

*Kalau ada yang punya pengalaman & pelajaran setelah resign, boleh berbagi cerita di kolom komentar yaa/ via email juga boleh 🙂


*NOTE :

Mungkin beberapa orang yang membaca berpikir “Helga mah enak… dia.. abcd… makanya bisa resign, dll”

Percayalah, membandingkan hidupmu dan hidupku tak akan pernah ada habisnya.

Aku punya kesusahanku sendiri, kamu pun begitu.

Selama hidup, fokus saja menjadi versi dirimu yang paling baik 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *