2017.
Malam itu aku mabuk. Mabuk berat.
Pagi hari aku terbangun dengan sangat kacau. Badanku terasa berat, begitu juga kepalaku.
Aku melihat semua kekacauan yang aku lakukan semalam. Teringat…
” Gha… gila… lo minum setengah botol sendiri.”
Anggur merah biasa masih mending… tapi ini cap orang tua Gold… Cepat sekali bikin aku merasa ringan.
Pagi itu jadwal survey lokasi ke Dago Tea House Bandung, tempat acara Broadcast Movie Project (BMP) yang aku pimpin akan terlaksana.
Haha. Aku teringat ide gila ini.
Ide membawa acara screening film lingkup kampus menjadi acara screening film lingkup kota Bandung.
Aku teringat layar HP-ku saat itu.
*Kalau dikilas balik… memang ide gila ini membuat sejarah baru untuk Broadcast Telkom University.
MEMBABAT HUTAN
Kami tidak punya dana saat itu.
Keadaan seakan berbanding terbalik dengan impian awalku untuk membuat acara screening film buatan anak-anak broadcast Telkom University bisa seperti pasar seni ITB.
Impian muluk yang akhirnya membuat impian itu tidak terjadi di angkatanku.
Tapi setidaknya angkatanku menjadi pelopor membawa acara ini keluar dari lingkup kampus.
Dana dikumpulkan dengan berbagai macam usaha. Uang kas 70-an anak, jual tiket, jualan baju-baju bekas di pasar pagi Telkom dan Dago, dan mengajukan proposal ke kampus.
Sayangnya sampai H-1 dana kampus tak kunjung turun. Proses yang lama dan membuat ketar-ketir seluruh panitia.
Dosen pembimbing acara ini sudah bilang padaku ” lebih baik tidak bikin acara di tempat sebesar Dago Tea House.“
Tapi kalian tau aku… batu.
Dengan ke-batu-an ku, aku membawa nasib 70-an orang membabat hutan bersama.
Membuka jalan agar Broadcast Movie Project bisa jadi acara se-Bandung.
Membuka jalan agar angkatan setelah kami bisa melaksanakan dan mencapai mimpi yang lebih besar.
Tapi tau resiko membabat hutan?
Penuh luka besetan.
Kami tau apa yang ingin dituju di dalam kepala, tapi di depan mata seakan terhalang tanaman-tanaman liar yang tinggi.
Bekas luka-luka besetan itu masih ada di kepalaku sampai sekarang.
Tapi berangsur sembuh.
MUNDUR
Tekanan saat itu lumayan kencang dan aku belum punya kedewasaan untuk memimpin.
Anak umur 23 tahun yang mengandalkan ambisi dan mimpi.
Terlalu ambisius,
Senin – Kamis bekerja di Jakarta sebagai asisten sutradara.
Kamis malam pulang kantor, langsung ke Bandung untuk (berusaha) mengerjakan skripsi.
Jumat sore rapat acara yang kuceritakan ini.
Sabtu dan Minggu masih sibuk dengan semua persiapan acara + rapat-rapat internal divisi/ panitia inti.
Minggu sore kembali ke Tangerang Selatan.
Senin – Kamis kembali bekerja jadi asisten sutradara.
Begitu terus dalam waktu hampir dua bulan, sampai mual rasanya.
Keminderan juga jadi beban mental tersendiri.
Melihat teman-teman bisa mengerjakan skripsi lebih cepat, minder karena fisik (masuk dan bekerja di dunia entertain menambah minderku berkali-kali lipat).
Film yang aku sutradarai untuk ditayangkan di acara Broadcast Movie Project juga kacau rasanya. Aku sleg dengan salah satu anggota kelompokku.
Beberapa teman angkatan rasanya tidak mendukung keputusan gila membawa acara ini se-Bandung.
Kacau. Kacau sekali.
Aku menyalahkan diriku yang belum dewasa memimpin, keputusan-keputusan yang salah, dan tidak menghargai orang lain.
Aku merasa Bilhad ( wakilku ), jauh lebih baik untuk memimpin acara ini…
Aku ingin mundur.
FOKUS YANG SALAH
Chaos. Aku mulai mempertanyakan“mengapa aku mau jadi ketua acara ini?”
Isi kepalaku terlalu ribut, sampai berujung pada draft chat pengunduran diri.
Saat itu semua terasa buram. Aku ingin mengirimkan draft ini ke grup angkatan.
Sampai akhirnya Kadia Sandi (salah satu temanku, supporter tergilaku saat itu ) menelepon.
Aku menangis dengan berbagai alasan.
” Lo mundur, gue juga mundur” katanya.
Kata-kata yang sama juga datang dari Bilhad si wakil, Della si sekertaris, Tiur si Bendahara.
Mereka sepakat mundur jika aku menyatakan mundur.
” Bodoh.” kataku.
Selama ini aku terlalu fokus dengan diriku.
Egois sampai tidak memperhatikan orang-orang yang mendukungku juga berkorban waktu, energi, uang, untuk sama-sama mewujudkan mimpi gila ini.
Kata-kata pengunduran diri itu berakhir di notes HP-ku.
Tak pernah terbaca orang-orang di grup besar Broadcast 2013.
*Punya orang-orang yang segininya sama dirimu… memang tidak sepantasnya untuk mundur.
UKURAN SUKSES
Singkat cerita, acara ini berlangsung sangat baik.
Hujan deras namun lumayan banyak yang datang. Orang-orang terkesima dengan gedung teater yang kami pakai. Dosen-dosen yang datang memuji acara ini.
Dosen pembimbingku akhirnya paham isi kepala batu Helga.
Setelah acara berakhir, dia sendiri yang mengusahakan dana dari kampus bisa cepat turun.
Tidak ada yang menyangka Broadcast 2013 yang jumlahnya hanya 70-an orang (jurusan lain jumlahnya di atas 100), bisa membuat acara sebesar ini.
Pujian dan kenangan foto/ video terus berdatangan setelah beberapa hari acara ini selesai.
Teman-temanku dengan kreatif upload foto/ video kenangan acara ini dengan hastag #susahmoveon BMP ; #menolaklupaBMP.
Semua berjalan di luar dugaanku… acara ini sukses, rapih, dan teratur.
Padahal di H-1 aku masih menangis di depan Adje (teman dan konsultan pribadiku yang sama-sama gila kalau punya impian).
Aku berkata… “ Ji gue ga kuat… gue takut acara ini gagal…”
Adje dengan santainya, ” Tenang aja Gha, gue tau lo bisa, pasti bisa. Tenang tenang.”
Aku tau aku bisa… tapi entah kenapa suara-suara negatifku kencang sekali.
Aku mencoba untuk tenang dan mengubah hatiku,
“ Kalau acara ini gagal, ga sesuai rencana… yang terpenting teman-teman seangkatanku yang sama-sama bikin acara ini happy.”
Dan benar… itu yang terjadi.
Broadcast Movie Project mengubah sudut pandangku tentang ukuran sukses. Bukan selalu tentang profit dana yang didapatkan, kuantitas orang yang datang…
Tapi bagaimana kami berhasil melakukan suatu hal baik dengan sepenuh hati, menyenangkan, mengalahkan berbagai ketakutan kami, dan indah untuk dikenang.
Itu yang jadi ukuran kesuksesanku untuk BMP sampai saat ini.
Kami mengingat BMP dengan hati rindu, puas, dan senang.
ANGGUR MERAH
Judul tulisan ini tidak banyak hubungannya dengan anggur merah.
Tapi yang aku ingat, pertama kali aku mencoba anggur merah adalah saat persiapan Broadcast Movie Project ini.
Di tengah kekacauan pikiranku, saat itu ada beberapa cara singkat yang bisa meringankan hari-hariku :
- Makanan manis (apapun, terutama coklat). Kalau tidak mempan, beralih ke :
- Anggur merah cap orang tua / cap rajawali / dicampur. Kalau tidak mempan, beralih ke :
- Anggur merah cap orang tua versi gold. Kalau tidak mempan juga, beralih ke :
- Rokok.
Cara singkat yang hanya jadi pelarian sementara.
Untung saja waktu survey lokasi di Dago Tea House itu, rombongan teman-teman angkatanku tidak tau aku mabuk dan sangat sempoyongan.
Aku berusaha terlihat setegar mungkin di depan mereka, berusaha selalu siap sedia untuk jadi tempat jawaban pertanyaan.
Eh, ada yang tau deng, Kadia Sandi tau. Karena dia yang bonceng Helga yang terus-terusan oleng selama perjalanan dari Telkom ke Dago hahaha.
*Eh… apa sebenarnya teman-temanku pas itu tau ya?
Broadcast Movie Project adalah pembuktian yang sempurna dari kalimat
” TIDAK ADA MIMPI YANG TERLALU BESAR.“
Semua mungkin terjadi, apalagi kalau tujuannya untuk bawa keuntungan/ manfaat untuk orang banyak… bukan buat diri sendiri.
Saat itu prosesnya terasa sakit, tapi sekarang aku melihatnya dengan sangat bangga.
Hal yang akan selalu dikenang dan bisa bilang ke diriku sendiri,
” Dulu kamu bisa handle BMP Gha.“
” Dari dulu Tuhan sudah menyertaimu – di saat terbobrok sekalipun – tapi Dia bikin kamu berhasil.“
” Apapun yang di depanmu sekarang, kamu bisa.“
” Apalagi sekarang sudah sadar kalau Tuhan selalu di sampingmu untuk menolong.“
” Kamu bisa.“
Dan seringkali ketika kita terlalu fokus dengan berbagai kesalahan, merasa sendiri, ditinggalkan, sebenarnya selalu ada orang-orang yang selalu mendukung
Ga nyambung sama kalimat sebelum ini, tapi aku mau kasih perumpamaan bagus dari salah satu pendukungku, dia bilang begini :
Terima kasih BMP, terima kasih semua anak broadcast 2013 Telkom University, terima kasih sudah percaya Helga Theresia jadi ketua kalian semua.
Tulisan kali ini rasanya lompat kesana kemari karena memori tentang ini bermunculan banyak sekali, meluap-luap, lalu aku tuliskan. Maaf kalau ada rasa tidak nyaman melihat susunan kalimatnya.
Hari ini sekian dulu ya jalan-jalan ke masa laluku hehe.
Sekiaan. I love you!
Sedikit kenangan yang ter-capture
*slide ke kanan/ ke kiri.